Wisata ke lombok pasti takkan pernah terlupakan jika kamu memang pernah merasakannya, salah satu tempat yang mangstabs untuk dikunjungi adalah gunungnya lombok :) . Tujuan pertama setelah sampai di Mataram adalah wisatawan diajak mencicipi Ayam Taliwang Haji Moerad. Makanan ini memiliki ciri khas cita rasa pedas. Pedasnya bukan main. Kalau Anda nggak terbiasa makan makanan pedas, mending lewatkan dulu Ayam Taliwang. Walaupun demikian, wisata kuliner yang satu ini amat sayang untuk dilewatkan. Pedasnya enak dan bikin semangat.
Habis mencicipi Ayam Taliwang Haji Moerad, wisatawan lanjut menuju ke hotel yang terletak di luar kota Mataram. Karena jarak menuju pusat kota Mataram lumayan jauh, sekitar 30 menit, kebanyakan wisatawan memilih makan malam di hotel saja. Kalau mau keluar cari makanan kaki lima, sangat beresiko untuk kesehatan untuk mendaki besok pagi. Walaupun begitu, makan malam dimanapun bersama orang yang kita cintai di Pulau Lombok sungguh sangat menyenangkan.
Rabu, 20 Juni 2012
Jumat, 04 Mei 2012
Jumat, 20 April 2012
Garut Miliki Persentase Terbesar untuk Tingkat Kemiskinan Anak
Personal News Magazine - Kitab Suci memberi gambaran tentang kemiskinan dalam beberapa kategori. Kemiskinan sebagai bentuk penindasan dan penipuan. Dalam Kitab-kitab Perjanjian Lama, dikisahkan orang menjadi miskin karena ditindas oleh seseorang atau pemerintah (bdk., Amsal 14:31, 22:7, 28:15). Mereka mempraktikkan hukum yang tidak adil dan mengubah takaran sebagai bentuk eksploitasi. Kedua, kemiskinan dianggap sebagai kesalahan atau hukuman. Kitab Ayub mengisahkan, Tuhan membawa pencobaan kepada Ayub (Ayub 1:12-19). Ketiga, kemiskinan disebabkan oleh kemalasan, keputusasaan dan kerakusan. Amsal menulis seseorang menjadi miskin karena kebiasaan buruk dan apatisnya (bdk., Amsal 10:4, 13:4, 19:15, 20:13, 23:21).
Penyebab lain kemiskinan ialah budaya miskin. Kemiskinan menyebabkan kemiskinan lanjutan dan siklus itu tidak mudah dihentikan. Orang yang bertumbuh dalam budaya statis semacam itu membutuhkan daya juang atau pendidikan sehingga dapat memperbaiki keadaannya. Dalam situasi demikian, “orang kaya dan orang miskin bertemu, yang membuat mereka semua adalah Tuhan” (bdk., Amsal 22:2). Tuhan menghendaki perjumpaan, antara orang kaya dan orang miskin.
Pada saat Revolusi Industri, kemerosotan moralitas mengakibatkan pemerasan terhadap kaum pekerja yang tidak terlindungi undang-undang dan asosiasi. Ketamakan manusia dan proses produksi secara keseluruhan melahirkan suatu situasi di mana segelintir orang kaya memperbudak kaum pekerja yang tidak memiliki sarana produksi. Paus Leo XIII saat itu mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum yang dengan tegas mengecam pemecahan sosialis yang mengingkari hak milik pribadi. Kaum sosialis berpendapat, penghapusan milik pribadi dan pengalihannya kepada negara, sebagai pemecahan atas masalah kaum pekerja. (art. 3, 7). Ia membela hak-hak kaum pekerja untuk memiliki barang melalui kerja keras mereka. Negara yang meniadakan hak, berarti menindas hak. (art. 8, 9, 23)
Ensiklik Rerum Novarum menjadi titik awal bahwa Gereja berhak berbicara mengenai masalah sosial. Dengan menggunakan prinsip Injil, Gereja berusaha mendamaikan dan mempersatukan kelas-kelas sosial (majikan dan buruh, orang kaya dan miskin). Adalah suatu kesalahan menerima keadaan bahwa suatu kelas masyarakat bertentangan dengan kelas yang lain, seakan-akan terjadi adu domba antara kaum kaya dan kaum miskin. (art. 25-27, 33, 41)
Gereja perlu mendidik umat untuk melakukan tindakan atau bertindak adil. (art. 40-41). Sebagaimana disebut dalam Ensiklik Rerum Nivarum, kaum pekerja tidak boleh diperlakukan sebagai budak. Karena keadilan menuntut penghormatan akan martabat pribadi manusia. Tindakan yang sangat tidak manusiawi jika memanfaatkan manusia, pria atau wanita, demi keuntungan semata, sebagai sesuatu yang tidak lebih dari sekedar barang. (art. 31).
Menurut YB Mangunwijaya, kemiskinan dan orang miskin adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami penderitaan. Mereka sungguh berada dalam situasi terjepit, selalu dikalahkan dan tak punya pilihan. Mereka tak memiliki jalan keluar atas persoalannya, tidak memiliki koneksi, modal atau informasi. Mereka sebagai kaum yang sakit, tertindas, terhisap, terjajah, tergusur, tergeser, yang dina, lemah, miskin, terlupakan, tak terhitung dan dilecehkan. Kemiskinan tak lagi menunjuk kepada suatu nasib atau keadaan kodrati, tetapi sebagai akibat dari proses pemiskinan. Maka, proses ini dapat dan harus dihentikan serta diganti dengan keadaan hidup yang lebih baik, yaitu di mana semua pihak saling memberi dan menerima atas asas keadilan.
Dalam situasi demikian, Gereja perlu peka terhadap persoalan kemiskinan dan orang miskin, dengan melihat situasi di sekitar, menganalisa kekuatan internal yang dapat dijadikan modal sosial serta menawarkan pemikiran, tindakan kreatif serta cara hidup alternatif sebagai pemecahan. Pendek kata, dalam situasi di mana yang kuat sebagai yang menang, Gereja perlu berpihak kepada yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Dalam situasi yang mengagungkan uang, Gereja perlu mewartakan solidaritas dan kasih. Dalam situasi yang menghalalkan segala cara, Gereja perlu mengembangkan budaya saling menghormati, bekerjasama dan berdialog.
Inilah pilihan memihak orang miskin, sebagaimana diteladankan Yesus. Bahwa Gereja perlu terus berupaya menegakkan diri, meskipun jatuh bangun dan bahkan kerap mengalami kegagalan, untuk menjadi sahabat bagi semua kalangan, terutama mendengarkan mereka yang mengalami penderitaan dan mengupayakan bantuan. Atau berupaya mendukung prakarsa pemberdayaan masyarakat seperti pertanian organik, pemberdayaan ekonomi melalui credit union. Tak ketinggalan mengusahakan orang kaya dan orang miskin bertemu untuk saling membantu. Atau mendorong umat bekerjasama dengan siapapun yang berkehendak baik demi mewujudkan keadilan.
Penyebab lain kemiskinan ialah budaya miskin. Kemiskinan menyebabkan kemiskinan lanjutan dan siklus itu tidak mudah dihentikan. Orang yang bertumbuh dalam budaya statis semacam itu membutuhkan daya juang atau pendidikan sehingga dapat memperbaiki keadaannya. Dalam situasi demikian, “orang kaya dan orang miskin bertemu, yang membuat mereka semua adalah Tuhan” (bdk., Amsal 22:2). Tuhan menghendaki perjumpaan, antara orang kaya dan orang miskin.
Pada saat Revolusi Industri, kemerosotan moralitas mengakibatkan pemerasan terhadap kaum pekerja yang tidak terlindungi undang-undang dan asosiasi. Ketamakan manusia dan proses produksi secara keseluruhan melahirkan suatu situasi di mana segelintir orang kaya memperbudak kaum pekerja yang tidak memiliki sarana produksi. Paus Leo XIII saat itu mengeluarkan Ensiklik Rerum Novarum yang dengan tegas mengecam pemecahan sosialis yang mengingkari hak milik pribadi. Kaum sosialis berpendapat, penghapusan milik pribadi dan pengalihannya kepada negara, sebagai pemecahan atas masalah kaum pekerja. (art. 3, 7). Ia membela hak-hak kaum pekerja untuk memiliki barang melalui kerja keras mereka. Negara yang meniadakan hak, berarti menindas hak. (art. 8, 9, 23)
Ensiklik Rerum Novarum menjadi titik awal bahwa Gereja berhak berbicara mengenai masalah sosial. Dengan menggunakan prinsip Injil, Gereja berusaha mendamaikan dan mempersatukan kelas-kelas sosial (majikan dan buruh, orang kaya dan miskin). Adalah suatu kesalahan menerima keadaan bahwa suatu kelas masyarakat bertentangan dengan kelas yang lain, seakan-akan terjadi adu domba antara kaum kaya dan kaum miskin. (art. 25-27, 33, 41)
Gereja perlu mendidik umat untuk melakukan tindakan atau bertindak adil. (art. 40-41). Sebagaimana disebut dalam Ensiklik Rerum Nivarum, kaum pekerja tidak boleh diperlakukan sebagai budak. Karena keadilan menuntut penghormatan akan martabat pribadi manusia. Tindakan yang sangat tidak manusiawi jika memanfaatkan manusia, pria atau wanita, demi keuntungan semata, sebagai sesuatu yang tidak lebih dari sekedar barang. (art. 31).
Menurut YB Mangunwijaya, kemiskinan dan orang miskin adalah mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan dan mengalami penderitaan. Mereka sungguh berada dalam situasi terjepit, selalu dikalahkan dan tak punya pilihan. Mereka tak memiliki jalan keluar atas persoalannya, tidak memiliki koneksi, modal atau informasi. Mereka sebagai kaum yang sakit, tertindas, terhisap, terjajah, tergusur, tergeser, yang dina, lemah, miskin, terlupakan, tak terhitung dan dilecehkan. Kemiskinan tak lagi menunjuk kepada suatu nasib atau keadaan kodrati, tetapi sebagai akibat dari proses pemiskinan. Maka, proses ini dapat dan harus dihentikan serta diganti dengan keadaan hidup yang lebih baik, yaitu di mana semua pihak saling memberi dan menerima atas asas keadilan.
Dalam situasi demikian, Gereja perlu peka terhadap persoalan kemiskinan dan orang miskin, dengan melihat situasi di sekitar, menganalisa kekuatan internal yang dapat dijadikan modal sosial serta menawarkan pemikiran, tindakan kreatif serta cara hidup alternatif sebagai pemecahan. Pendek kata, dalam situasi di mana yang kuat sebagai yang menang, Gereja perlu berpihak kepada yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Dalam situasi yang mengagungkan uang, Gereja perlu mewartakan solidaritas dan kasih. Dalam situasi yang menghalalkan segala cara, Gereja perlu mengembangkan budaya saling menghormati, bekerjasama dan berdialog.
Inilah pilihan memihak orang miskin, sebagaimana diteladankan Yesus. Bahwa Gereja perlu terus berupaya menegakkan diri, meskipun jatuh bangun dan bahkan kerap mengalami kegagalan, untuk menjadi sahabat bagi semua kalangan, terutama mendengarkan mereka yang mengalami penderitaan dan mengupayakan bantuan. Atau berupaya mendukung prakarsa pemberdayaan masyarakat seperti pertanian organik, pemberdayaan ekonomi melalui credit union. Tak ketinggalan mengusahakan orang kaya dan orang miskin bertemu untuk saling membantu. Atau mendorong umat bekerjasama dengan siapapun yang berkehendak baik demi mewujudkan keadilan.
Langganan:
Postingan (Atom)