Rabu, 03 Februari 2010

Amplop Putih Dalam Lemari

Dulu, jaman masih single, yang namanya nabung kayanya susaaaaahhhhhh banget buat dilakukan. Entah kenapa ada ajah setan yang dengan sukses membujuk rayu. Misalnya pas awal gajian udah nyisihin beberapa ratus ribu di tabungan, eh tengah bulan pasti ajah tangan gatel buat ngegesekin kartu ATM. Lama kelamaan beberapa ratus ribu ituh menjelma menjadi beberapa puluh ribu, sampai akhirnya hanya tersisa beberapa ribu. Menyedihkan sekali, bukan?

Gw bukan tergolong cewe yang suka belanja baju, make-up, tas, sepatu, dll. Baju biasanya dapet lungsuran dari Nyokap, karena kebetulan badan kita ukurannya ga jauh beda. Kalopun beli, paling pas lagi mudik ke Jakarta, huntingnya di Tanah Abang ato ITC. Prinsip gw dalam membeli pakaian adalah murah, modelnya ok, sehingga bisa beli banyak. Tas juga dapet warisan dari Nyokap. Kalo sepatu, karena kaki gw lebih besar 3 nomor, maka terpaksa beli sendiri. Itupun gw beli yang murah meriah ajah, paling mahal 100rb-an. Make-up jangan dikata, gw termasuk cewe yang agak2 tomboy. Jadi paling banter cuma pake sun block [kerja di hutan kalo ga pake sun block muka bisa jadi kaya pantat wajan], bedak, rexona, parfum, lotion, dan lipstik kadang2. So, kemana dunks perginya uang gaji gw? Iya, ke makanan. Gw adalah tukang ngemil kelas kakap. Kamar gw penuh dengan coklat, biscuit, roti, sereal, dan cemilan2 lainnya. Belum lagi kalo bosen dengan makanan di mess langsung gw ngacir ke warung bakso, gado2, nasi rawon, pecel ayam, roti bakar, dan sebangsanya.

Kalo Ayahnya Zahia lain lagi kelakuannya. Waktu bujangan, Beliau demen banget beli barang dengan harga yang menurut gw ga masuk akal. Seperti beli kemeja 1 biji harganya 300 rb. Celana dalem 2 biji 100 rb. Kaos 1 lembar 200 rb. Sepatu kets 700 rb. Jam tangan harga 2 jeti. Alamakjang!

Perpaduan dua pribadi yang berbeda, dimana yang satu suka menyumbangkan uangnya ke restoran, toko roti, warung makan, dan supermarket, dengan orang yang hobi memakai barang2 branded, sangatlah ideal. Sehingga di awal2 pernikahan kami duit menjadi sesuatu yang keluar masuknya sangat lancar. Masuk 1x pas gajian, keluar berkali2 tanpa meninggalkan sisa di akhir bulan. Maka bisa dibilang walopun kami memiliki pemasukan dari 2 kantong, tapi kantongnya bolong dimana2 dan kami ga berusaha untuk menjahitnya. Jadi kalo dilihat dalam neraca keuangan saldo akhirnya adalah nol rupiah.

Tapi sekarang kelakuan kami berdua di masa2 jahiliyah itu telah berhasil diminimalisir. Kesadaraan itu datang setelah Zahia ada. Dengan tambahan anggota keluarga, yang mana untuk membesarkannya, kemudian menyekolahkan, tentu saja memerlukan uang yang tidak sedikit. Kami pun mulai menata keuangan keluarga dengan sebaik2nya. Ditambah status Abang sebagai karyawan kontrak (rata2 ekspat ga ada yang statusnya permanen, biasanya kontrak per 1 tahun, 2 tahun, 5 tahun, tergantung perusahaannya. Kecuali kalo udah dapet PR), maka kami harus pandai2 menyimpan uang. Awal bulan ketika gajian, gw selaku manager keuangan langsung memotong 50% dari gaji. Uang tersebut gw masukkan ke dalam amplop putih yang sebelumnya telah diberi label “Saving Bulan Sekian”. Uangnya di klip, amplopnya di lem, lalu disembunyikan di dalam lemari. Sisa 50% lainnya gw masukkan ke dalam amplop2 lainnya, seperti: allowance Nyokap, bayar ART, belanja kebutuhan sehari2, jatah Abang untuk dinas luar (karena SPPD nya keluar belakangan), etc.

Pasti sodara2 ada yang ngerasa aneh kenapa koq nabungnya ga di rekening bank ajah, malah ngikutin aliran Jaman Batu disimpen di lemari [ga sama2 banget seh karena kalo Jaman Batu disimpen di bawah bantal]. Laki gw tercinta terkena sindrom tidak-percaya-sama-yang-namanya-bank. What? Hari ginih bo?? Sifat Beliau yang satu ini memang udah mendarah daging, susah banget diubahnya, walopun berjuta kali gw diskusikan dengan memberikan seribu satu macam alasan mengapa menyimpan di bank lebih aman daripada menyimpan di rumah. Mungkin karena udah turunan dari Nenek Moyang. Percaya ato ga, Bapak Mertua gw (= Bapaknya Abang, Ni Akinya Zahia) juga melakukan hal yang sama, begitu juga dengan Bapaknya Bapak Mertua (= Kakeknya Abang, Buyutnya Zahia). So apa boleh buatlah maka gw pun akhirnya menyetujui menabung dengan cara ini.

Apakah cara tersebut manjur sodara2? Alhamdulillah cukup manjur, meskipun pernah juga kami kebobolan beberapa kali. Karena dulu amplop ga di lem makanya tangan suka gatel ngoprek2 & ngambilin sedikit2. Hiks! Tapi cara menabung seperti ini ternyata ada nilai positifnya juga. Jika kurs lagi berbaik hati dengan para TKI [kami memang orang Indonesia dengan jiwa nasionalisme tidak begitu tinggi karena selalu berdoa agar nilai rupiah melemah_maapkan kami Pa SBY & Bu Sri Mulyani], maka detik itu juga kami bisa mentransfer uang ke Indonesia. Dapat dibayangkan dunks kalo uangnya masih di bank yang memilki limit transaksi pengambilan dalam sehari, mungkin baru bisa kirim uang beberapa hari kemudian, dengan kemungkinan nilai tukar sudah tidak setinggi kemarin (kalo lebih tinggi seh malah bersyukur). FYI, di Bintulu, mengirim uang via bank justru lebih murah nilai tukarnya dibandingkan dengan melalui kedai / toko yang membuka jasa pengiriman uang, padahal biaya kirimnya lebih mahal di bank. Lumayan kan kalo perbedannya 50 rupiah. Misalnya mo ngirim 1000 RM udah rugi 50 rb. Maka kami selalu memakai jasa pengiriman uang di toko walaupun terkadang 3 hari baru masuk ke rekening bank yang di Indonesia [yang penting uangnya sampai dengan selamat].

Kesuksesan perekonomian dalam sebuah keluarga kuncinya adalah disiplin, ini menurut gw. Istri dan suami harus disiplin dalam menggunakan setiap sen uang yang diperoleh, berapapun besarnya pendapatan, apakah 2 juta per bulan, atau 20 juta per bulan. Yang harus digaris –bawahi, bahwa sebanyak apapun uang yang masuk, jika kita tidak bijaksana dalam penggunaannya, maka akan habis juga. Tentu saja penyesalan selalu datang di akhir, saat semuanya telah terjadi. Point berikutnya yang juga penting adalah berapapun jumlahnya, setiap bulan harus diusahakan untuk menabung. Dan cara menabungnya bukan di akhir bulan, mengandalkan sisa uang bulan tersebut, tapi harus dipotong di awal bulan saat baru menerima uang. Ada yang punya pendapat lain, Temans?

NB: Saat ini kami juga sudah mengajarkan menabung kepada Zahia. Ayahnya membuatkan celengan dari kaleng bekas susu kental manis yang ada tutupnya [pengiritan neh ceritanya, karena daripada beli bagus gunain yang ada]. Setiap habis shopping dan ada duit kembalian berupa koin kami akan memberikannya kepada Zahia. Mulai dari koin 50 sen yang besar dan tebal, sampai koin 5 sen yang kecil dan tipis, Zahia udah bisa masukin ke celengan. Good Girl, Princess. Yang rajin nabungnya yah Sayang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar