Selasa, 09 Februari 2010

“Doakeun Neng nya Mak”

Beberapa hari lalu, gw menonton Opini di TV One, sedang membahas mengenai anak2 di bawah umur, sekitar 15-16 tahun, sebagian besar merupakan pelajar SMU, yang dijadikan Pekerja Seks Komersil. Si GM alias germo memasarkannya melalui jejaring sosial facebook, mulai dari harga 400 rb s/d 800 rb rupiah. Ada 3 bintang tamu pada saat itu: Dokter Boyke, Ka Seto (dihubungi via phone, tidak hadir langsung), serta seorang lagi yang gw lupa namanya dan ga “ngeh” apa pekerjaannya karena gw nonton terlambat sudah di tengah2 talkshow tersebut, kita panggil saja Mr. L. Ada kalimat yang diucapkan oleh Mr.L yang sangat menarik perhatian gw. “Di Singapore, prostitusi itu legal. Pemerintah bahkan menyiapkan tempat khusus untuk bisnis seperti itu. Pada saat saya berkunjung kesana, ternyata banyak PSK yang berasal dari Indonesia, seperti Sukabumi, Indramayu, dan Kuningan”.

Miris sekali gw mendengarnya. Kita terkenal bukan hanya sebagai Negara yang kaya akan hasil alam dan keelokan negerinya, atau kain batik yang sudah dijadikan world heritage, tapi kita juga tersohor sebagai negeri para PSK tersebut berasal. Di Bintulu sendiri, banyak pub yang dengan bangga menuliskan pada poster yang terpampang di pintu depannya “Hot from Indonesia”. Di poster yang ukurannya terbilang besar itu dipajanglah foto2 perempuan2 Indonesia dengan senyum merekah, menggunakan pakaian ala kadarnya saja sehingga aurat terobral kemana2 [gw sampe bingung apa ga masuk angin yah pake baju model begituh?!].

Berbicara mengenai Indramayu dan Kuningan, seperti yang Mr. L bilang, gw memiliki pengalaman sendiri. Dulu, jaman Kuliah Kerja Praktek, anak2 HPT (Hama Penyakit Tumbuhan, jurusan gw tercinta), dikirim ke 3 tempat, yaitu Kuningan, Indramayu, dan Bandung. Gw ditempatkan di Kuningan dengan 10 teman HPT lainnya. Di perjalanan menuju Kuningan, saat melewati pesisir pantai Indramayu, gw melihat di pinggir jalan banyak berjajar warung2 yang kalo sekilas melihatnya menjual makanan dan minuman. Saat bis berjalan merayap karena macet, gw memperhatikan dengan seksama pada beberapa warung berkumpul cewe2 yang rata2 menggunakan tanktop. Gw jadi bertanya2 dalam hati apakah cewe2 itu merupakan pengunjung warung. Tapi sepertinya ga karena gw ga melihat ada makanan ataupun minuman di meja. Atau mereka adalah pelayan di warung tersebut? Ini juga ga mungkin karena warung kecil seperti itu bisa gulung tikar kalo ngegaji banyak helper. Akhirnya gw gatel nanya sama temen yang cowo, terus temen gw bilang “Ya ampyun San lo kaya kaga tau ajah, itu tuh cewe2 yang lagi pada menanti pelanggan”. Oh, ok deh. Berarti pikiran yang terlintas di otak gw bukan cuma suudzon gw doank.

Masih di bis Bogor-Kuningan saat melewati pesisir pantai Indramayu, tiba2 masuklah tiga orang cewe dengan pakaian sexy. Dua orang dari mereka membawa alat musik berupa gitar dan kecrekan. Tanpa membuang waktu mereka pun langsung unjuk kebolehan. Suara sang vokalis yang kacau balau membawakan lagu "Kopi Dangdut", plus gitar sumbang yang nadanya ga beraturan, ditambah iringan kecrekan yang kocar-kacir, ketiga cewe pengamen itu dengan sukses membuat para penumpang di bis tanpa AC ini mabok kepayang. Hebatnya, walopun penampilan mereka luar biasa parah dan dapat menimbulkan infeksi telinga bagi yang mendengar, mereka ga peduli, bahkan semakin asyik meliuk2kan badan seperti cacing kepanasan. Si vokalis yang berpakaian paling sexy, dengan dahsyatnya melakukan goyangan ngebor ala Mbakyu Inul sampe hampir mo tiarap, sambil sesekali menyenggol2kan tubuhnya ke laki2 yang ada di dekatnya. Top markotop!! Ini mo ngamen ato menjajakan diri tengah hari bolong di tempat umum ?!?!

Dari cerita temen gw, ada satu kampung yang letaknya besebelahan dengan desa tempat dia KKP [gw ga akan menyebutkan nama kampungnya], isinya adalah Bapak2, ibu2, nenek kakek, dan anak2 kecil. Ga ada satupun anak gadis yang dia temukan berkeliaran. Setelah bertanya kepada pendduduk disitu, ternyata eh ternyata gadis2 yang udah ‘cukup umur’ dibawa ke Jakarta, untuk bekerja sebagai PSK, di pub / bar, dan tempat2 sejenis itu. Para orang tua bagaikan mendapat doorprize jika anak yang dilahirkan adalah anak perempuan, berparas elok pula. “Anak seperti itu akan dibayar mahal oleh para agent dari Jakarta”, kata mereka. Biasanya agent akan memberikan DP sebagai ‘tanda jadi’ saat anak itu berumur 7 tahun, sehingga pihak orang tua tidak akan memberikan kepada agent lain. Persis halnya petani ijon.

Gila!! Orang tua bukannya melarang anaknya untuk menjual diri, malah berlaku seperti makelar kepada orang2 yang disebut agent. Mereka dengan keadaan waras pikiran dan sehat wal'afiat tega menjerumuskan anak2 mereka ke dalam pekerjaan nista!! Apa yang terlintas di kepala mereka sehingga bisa dengan santainya bertransaksi seperti itu? Apakah ekonomi dapat dijadikan alasan untuk itu? Apakah kemiskinan sudah membuat mata hati menjadi bebal, dan lupa bahwa dunia ini hanyalah tempat transit sementara? Lalu jika uang dan harta sudah diperoleh, dapatkah menjamin kebahagiaan sang anak, menjamin bahwa putrinya terbebas dari ancaman infeksi penyakit2 kelamin, bahkan AIDS? Entahlah!

Back to Bintulu, ada seorang kenalan kami, sebut saja Ray, bercerita bahwa dia bertemu istrinya di pub. Saat itu si perempuan bekerja sebagai penyanyi dan dia adalah pengunjung tetap. Mereka jatuh cinta dan memutuskan untuk menikah. Tapi, untuk menikahi perempuan itu, biaya yang dikeluarkan tidaklah murah. Ray harus membayar RM 15.000 untuk ‘menebus’ calon istrinya dari tangan pemilik pub [Mrs. Ray berasal dari Indonesia]. Wowwww!!!

Ada juga cerita laki gw ketika minggu lalu dinas luar ke Miri. Abang dan 1 orang temannya makan siang di salah satu restoran Indonesia. Meja sebelahnya diisi oleh 6 orang cewe dengan dandanan menor, baju sexy, ngerokok ga berhenti2. Karena melihat cewe2 tersebut keluar dari pub di samping restoran, maka Abang berkesimpulan mereka adalah pub-girl yang sedang tidak dinas [iyalah wong dinasnya malam]. Satu diantaranya sedang menelepon dengan suara yang cukup keras sehingga memungkinkan Abang untuk mendengar apa yang cewe itu katakan. Dia menggunakan Bahasa Sunda untuk berbicara dengan orang yang diteleponnya. “Doakeun Neng nya Mak, Neng nuju damel di dieu ngumpulkeu artos kanggo Emak”. Jika ditranslate artinya adalah: Doain Neng yah Mak, Neng lagi kerja disini ngumpulin duit untuk Emak. Ya ampyun, lo kerja ga bener trus minta Emak lo berdoa buat kesuksesan lo?? Gw & Abang 100 % yakin kalo Emaknya si Neng nun jauh di Indonesia ga tau bahwa anak tersayangnya bekerja di pub.

Seringkali di televisi kita melihat polisi menangkap gadis2 belia yang bekerja sebagai PSK, lalu saat diinterogasi mengatakan bahwa mereka adalah korban “human trafficking”. Mereka dibohongi oleh orang yang membawanya dari kampung, dijanjikan akan bekerja di restoran, pabrik, toko, atau sebagai PRT, dengan gaji yang cukup besar. Ok,memang bayak case seperti itu. Tapi jika dilihat kisah si Neng tadi, berarti dia telah menikmati dunianya sampe minta doa restu Emaknya agar cepat sukses. Let’s say misalnya dia memang ‘ditipu’ oleh agentnya, terus kenapa dia tetep bertahan dengan pekerjaan itu? Kenapa dia ga berusaha untuk keluar atau melarikan diri?

Kemiskinan masih saja dijadikan alasan ataupun pembenaran untuk melakukan pekerjaan2 yang tidak halal. Padahal, selama kita mau berusaha, masih banyak pekerjaan yang bisa dilakukan, tanpa mengabaikan nilai2 agama. Kalau memang tidak sekolah, tidak memiliki skill apapun, lakukanlah apa yang bisa dilakukan semaksimal mungkin dengan kemampuan apa adanya itu. Berjualan pisang goreng di pasar, mencuci piring di warung makan, ambil cucian baju2 tetangga, jadi kuli angkut di pasar [malu dunks sama embah2 di Pasar yang udah tua tapi teteup kuat jadi kuli angkut], dan sebagainya. Intinya jika ada niat Insya Allah disitu ada jalan. Meskipun jalannya kadang mulus, kadang berbatu, kadang ada polisi tidurnya, kadang banyak tikungan tajam, tapi lebih mulia daripada jalan pintas yang menjual harga diri.
Perlu diingat bahwa kemiskinan sama halnya dengan kekayaan, merupakan ujian dari Sang Pencipta, dimana orang2 yang dapat melewati ujian tersebut dengan sebaik2nya akan ‘naik kelas’. Akankah kita masuk ke dalam golongan orang2 yang naik kelas dengan ranking 10 besar, atau malah tinggal kelas karena malas untuk berusaha?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar