Jumat, 20 Mei 2011

Cerita Zahia Tentang Bunda


Hai hai Ka Vania Anandita, perkenalkan yah namaku adalah Zahia Shahmin Najla. Supaya lebih akrab, Ka Vania bisa memanggilku Zahia ajah. Oya, sebelumnya Zahia mo ngucapin met milad yang ke-3 (hihihi gpp yah kecepetan 4 hari), tepatnya tanggal 25 Mei 2011 jam 6 sore. Walopun Zahia ga bisa dateng ke rumah Kaka untuk icip2 nasi kuning dan es cendol buatan Bunda Tia [Jeng, emang suka nemu es cendol yah di b’day party anak balita??], tapi Zahia doakan semoga Ka Vania sehat selalu, tambah pinter, semakin sholehah, dan bisa jadi kebanggan Ayah Bunda. Amien.

Oya, Zahia sekarang mo cerita tentang Bunda. Bunda tuh anak tunggal dari Uti Noortje sama Grandpa Jun. Uti juga anak tentara loh, sama dengan riwayat hidup Bunda Tia, yang lahir di Makassar karena Eyang Buyut Sapoetro waktu taun 1953 lagi dinas disana. Meski darah Jawa mengalir kental, tapi Uti menghabiskan sebagian besar hidupnya di Tanah Sunda (Bandung, Jakarta, Cilegon). Grandpa orang Phillipine, bekerja di Cilegon. Disanalah tumbuh benih2 cinta [huhuuuyy bahasanya ga nahaaannn euy], yang mengantarkan Uti & Grandpa ke meja penghulu [anak kecil belom paham San arti kata penghulu!!]. Lalu, pada 25 April 1982, di kota kecil bernama Serang (propinsi Banten), lahirlah seorang putri cantik nan lucu menggemaskan [bagi yang mo muntah sedia dulu ember sama lap], bernama Susan Noerina. Yup, itulah Bundaku tercinta.

Bunda sering banget cerita, meski Bunda adalah anak tunggal (Grandpa keburu dipanggil sama Sang Maha Kuasa di taun 1991), tapi Bunda sudah diajarkan untuk belajar mandiri sejak kecil. Waktu SD, setiap liburan sekolah 1 bulan tiba, Bunda langsung dikirim ke Bandung, tinggal bersama adik2nya Uti (aku nyebutnya Nini dan Aki). Pesantren kilat, kursus komputer, kursus bahasa Inggris, sampe kursus merangkai bunga, Bunda ikutin untuk mengisi liburan. Seminggu sebelum masuk sekolah, Bunda dijemput sama Uti, pulang ke Cilegon.

Sejak SMP Bunda udah berani pp Cilegon - Bandung sendirian. Uti anterin ke Terminal Merak ato nunggu bis di depan Masjid Agung Cilegon, tar tinggal dijemput deh di Terminal Leuwi Panjang. Kata Bunda ga usah takut naek bis sendirian, yang penting berdoa dan selalu waspada. Uti juga selalu nitipin Bunda koq ke supir dan kondektur bis, dan diusahain duduk di kursi paling depan supaya Pak Supir dan Pak Kondektur bisa terus memantau.

Lulus SMPN 1 Cilegon, dengan berbekal NEM 42,04 [hihihi ketauan dah dodolnya ekye], Bunda melanjutkan sekolah ke Bandung. Bunda bilang, Bunda sempet bertengkar dengan Uti gara2 ini. Kan Bunda pengennya sekolah di sekolah favorit, tapi apadaya ketika passing grade SMAN 20 Bandung diumumkan ternyata Bunda kurang 0,02 point [hiks hiks tu sekolah menerima NEM paling rendah 42,06]. Saat itu Bunda langsung mutusin mo pulang kampung, sekolah di SMAN 1 Serang. Tapi Uti kekeuh supaya Bunda masuk ke SMAN 7 Bandung, pilihan sekolah ke-2, yang sebenernya bukanlah pilihan Bunda, tapi Aki Budhi.

Bunda : (suara tinggi 7 oktaf) “Mom, SMAN 7 kan terkenal hobi tawuran. Reputasinya jelek deh. Aku ga mau ah sekolah disitu! Mending aku sekolah di Serang ajah!!”
Uti : “Sekolah tuh dimana2 sama, Sayang. Semua kembali kepada muridnya. Sekolah kan hanya suatu fasilitas. Kalo kamu belajar dengan sungguh2, insya Allah bisa sukses. Tapi kalo belajarnya cuma maen2 doang, yah ga bakalan jadi apa2”
Bunda : (volume suara bertambah menyaingi lengkingan tukang minyak keliling) “Ga mau!! Pokonya aku mau di Serang!!”
Uti : (geleng2 + tersenyum mafhum) “Sayang, kamu tau ga alasan kenapa Mama ngotot pengen kamu sekolah di Bandung? Sebab Bandung kota besar. Kalo kamu belum ngerasa cukup dapet pelajaran di sekolah, kamu bisa ikut bimbel. Disana lebih banyak pilihan, ada GO (Ganesha Operation), SSC, dll. Akses informasi juga pasti lebih update dari Cilegon ato Serang. Mama mikir jauuuuuhhh ke depan, dan itu untuk masa depan kamu”
Bunda : (nangis gerung2 di lantai) “Mama jahaaattt!! Mama ga pernah ngertiin akuuuuu!!” [plizz jangan ditiru kelakuan a-be-geh macem begini]

Demikianlah adegan perseteruan antara Bunda dan Uti. Akhirnya, Bunda pun mengalah, karena ngeri dengan ultimatum tidak akan dibiayai sekolah oleh Uti kalo masih ngotot mau sekolah di Serang, pluz ngeri dikutuk jadi Nikita Willy [hari gini dikutuk jadi batu kaya Malin Kundang mah udah ga musim Coy]. Setelah 3 taun berselang, Bunda barulah menyadari bahwa omongan dan jalan pemikiran Uti memang benar adanya. Alhamdulillah, perjuangan 3 taun itu berbuah manis, ketika Bunda diterima di perguruan tinggi negeri pilihannya, IPB.

Bunda bertransmigrasi dari Bandung ke Bogor. Bunda hanya pulang ketika liburan semesteran, itupun kalo sedang ga ngambil SP (Semeseter Pendek). Di IPB, SP itu untuk mengambil pelajaran untuk semester depan. Jadi lumayanlah bisa nyicil2 SKS. Bunda juga sibuk berteater ria jaman kuliah [cita2 ekye ikut Teater Koma belom juga kesampean]. Uti sering dateng ke Bogor, ambil cuti kantor, demi melihat Bunda manggung. Lumayaaan, Bunda jadi punya tambahan duit jajan, selain tentunya nambah kenalan, karena Ladang Seni Faperta pimpinan Bunda seringkali menjadi pengisi acara pada kegiatan2 Rektorat, Dekanat, dan di banyak kegiatan kemahasiswaan. Kata Bunda, kalo Zahia udah sekolah, harus kudu wajib musti ikut kegiatan ekstrakurikuler ato organisasi apapun sesuai dengan minat Zahia, karena banyak sekali manfaatnya bagi pengembangan diri. Duh, Zahia jadi pengen cepet2 sekolah nih.

Menyandang gelar Sarjana Pertanian dari Fakultas Hama Penyakit Tumbuhan 4 taun kemudian, Bunda sibuk cari2 pekerjaan. Bunda pernah kerja macem2, meski ga sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Tapi Bunda tetep ngejalanin itu semua, untuk tambahan ilmu dan pengalaman, selain tambahan pemasukkan tentunya. Freelance di BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), jadi sekretaris pengganti, kerja di EO, dan yang lumayan lama sebagai call centre di Indosat, sebelom akhirnya keterima di sebuah perusahaan forestry.

Petualangan baru Bunda pun dimulai. 9 bulan training di Pangkalan Kerinci Riau, jangan harap nge-mall saban minggu ato nonton bioskop sebagai pengusir jenuh, wong selama masa training ituh Bunda diharuskan nge-camp di tengah block / compartment (baca: bener2 dalam areal kerja yang emang letaknya di dalam hutan). Tidur di dalam tenda bersama 28 orang temen seperjuangan (5 cewe dan sisanya pejantan tangguh bertampang memprihatinkan), beralaskan tempat tidur lipat seperti yang dipake tentara, mandi & pup & pepsi (baca: pipis) ke sungai, cuci baju di kali. Bunda juga lebih sering bertemu dengan monyet pantat merah ato gajah, daripada manusia dengan tingkat kegantengan setaraf Keanu Reeves. Entah kenapa, Bunda justru bener2 menikmati masa training, karena meski secara kasat mata menderita jauh dari peradaban, tapi dijejali oleh ilmu2 kehutanan oleh para ekspat made in New Zaeland, Canada, Phillipine, dll, merupakan berkah yang tak terkira bagi Bunda, serasa lagi ngambil S2 kehutanan. Apalagi hidup seatap [eh beda atap deng, kan tenda cowo dan cewe dipisah] dengan 28 orang selama waktu yang lama, betul2 tempat pembelajaran sempurna mengenai rupa2 sifat manusia.

Ketika masa training berakhir, Bunda ditempatkan di salah satu anak perusahaan yang berada di Tidung Pala, Kalimantan Timur. Lagi2 harapan bekerja di tengah2 kota musnahlah sudah, karena yang judulnya perusahaan forestry pasti di berada nun jauh di pedalaman. So, beginilah rute yang ditempuh oleh Bunda untuk mencapai kantor barunya:

1. Pekanbaru - Jakarta naek pesawat selama ± 1.5 jam
2. Jakarta - Balikpapan naek pesawat lagi selama ± 2 jam
3. Lanjuuuddd Balikpapan - Tarakan oake pesawat selama ± 45 menit
4. Sudah nyampe kah Bunda? Tentu belom, karena perjalanan Tarakan - Tidung Pala dilanjutkan dengan speeadboat 800PK selama ± 2 jam
5. Dari pelabuhan, naek mobil 5 menit dah sampe HO. Kalo lari sambil dikejar doggy bisa 15 menit. Yang paling lama yah sambil ngesot, bisa2 sejam baru sampe. Dengan bonus lecet dimana2 + gempor melanda sukma

Ssssttt, ternyata ketika penempatan di KalTim inilah Bunda bertemu dengan Ayah yang ganteng luar dalem depan belakang. Padahal awalnya Bunda sempet mati2an mengajukan proposal untuk meminta penempatan di Riau ajah, dengan alasan keluarga (baca: Uti sawan ngedenger anaknya mo ke Kalimantan. Bagi orang Pulau Jawa nama Kalimantan kan berasa serem banget). Maka dari itu, Bunda selalu mengatakan bahwa segala sesuatu terjadi pasti memiliki tujuan (ato hikmah), dan pasti yang terbaik yang Allah suratkan untuk kita. Dari pertemuan singkat sekitar 3 bulan karena saat Bunda masuk Ayah sedang proses resign ke perusahaan lain di Kalimantan Barat, tanpa pake acara berpacaran ria terlebih dahulu, 6 bulan kemudian Ayah memberanikan diri untuk melamar Bunda. So sweet kan Ka Vania pertemuan Ayah dan Bundaku?? [cieeeehhh cieeehh, Jeng Soes lagi bernostalgila neh!].

Ayah dan Bunda menikah pada 19 Januari 2008. Setelah menikah, Ayah memutuskan untuk kembali ke perusahaan lama di Kalimantan Timur, supaya bisa berkumpul dengan Bunda [ekye mana tahaaaann boo idup jauh2an dari laki]. Alhamdulillah, di bulan Maret Allah memberikan kejutan spesial dengan kemunculan tanda strip 2 pada alat test-pack yang Bunda gunakan untuk mendeteksi keterlambatan jadwal menstruasinya. Lalu, saat aku baru meringkuk selama 3 bulan di rahim Bunda, Alhamdulillah lagi2 Allah memberikan hadiah kepada Ayah dan Bunda. Yes, sebuah perusahaan forestry di Sarawak berminat dengan CV Ayah dan langsung meminang Ayah utuk dijadikan staffnya. Tanpa banyak ba-bi-bu, tanpa segala runutan prosedur yang umum seperti tes2 dan interview, Ayah dikirimkan offering letter. Setelah semuanya deal, aku yang masih dalam kandungan dan Ayah Bunda berangkat ke Miri, Sarawak, tepatnya tanggal 14 Agustus 2008.

Ayah ditempatkan di Bintulu. Disitulah kota kelahiranku. Sebenernya waktu aku lahir, kandungan Bunda baru berusia 32 minggu. Tapi apa boleh buat, karena aku sudah digariskan untuk mengikuti program akselerasi (baca: percepatan), maka di saat ketuban Bunda pecah aku pun siap meninggalkan tempat tinggalku yang hangat selama 7 bulan, untuk bertemu langsung dengan Ayah dan Bundaku. 17 Oktober 2008, jam 11.45 pm, aku keluar lewat jendela (baca: operasi), sebab posisiku yang sungsang dan akan sangat berbahaya jika Bunda bersikeras mengeluarkan aku secara normal.

Ka Vania, sekarang aku udah pindah ke Miri, karena sejak Februari taun lalu Ayah ditransfer ke HQ (Head Quarter Office). Kapan2 kalo Kaka maen kesini kabarin aku yah. Tar aku ajak jalan2 ke Brunei, dari rumah cuma 2 jam naek mobil ke Bandar Seri Begawan. Ga usah mikirin penginapan, kalo Kaka mau nginep ajah di rumah, tapi rumahku kecil loh. Kaka juga harus nyobain masakkan Bundaku yang super duper uenak [pingsan!!], hasil kursus privat dari Chef Zul. Tau dong pastinya Kaka sama chef terkenal itu?!

Okeh deh Ka, sekian dulu ngerumpi2nya. Kapan2 kita lanjut lagi. Big hug from Miri, mmmmuuuaaaccchhh!!

NB: Zahia dan Ayah Bunda sekarang sedang mengejar mimpi untuk dapat tinggal di jazirah Arab. Cuma Ayah bilang kalo mo stay disana, Ayah kudu beralih profesi dari forester menjadi petani kurma ato peternak onta, secara disana kan ga ada hutan belantara. Kalo Ayah seh berharap banget bisa mengepakkan sayap ke Aussie, NZ, Brazil or Canada (negara2 yang terkenal di dunia forestry). Apapun itu, Ayah Bunda selalu mengajarkanku untuk berani bermimpi dan bercita2, serta berusaha keras untuk meraih impian itu dengan cara yang halal. Hehehe, supaya bisa idup tenang, ga dikejar2 polisi, dicaci maki masyarakat, dan dilaknat Tuhan [apa kabar gerangan Om Gayus dan Tante Malinda Dee??]

NB lagi : Kalo Bunda Tia kepanjangan ngedongengin cerita tentang Bundaku dalam satu waktu, bisa dibagi jadi 10 part supaya ga kepanjangan hihihihi. Ups kelupaan, semisalnya Zahia menang hadiahnya dikirim ke rumah Ni Aki ajah yah Ka di Singkawang. Kalo ngirim ke Miri seh berat ongkos kirimnya [GRnya kumat].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar