Kamis, 04 November 2010

Studi Banding? Ke Laut Ajah!!

Gw, sebagai emak2 beranak satu berlaki satu, serta pengamat pasar, terutama pergerakan IHSG dalam mempengaruhi kenaikan harga cabe keriting dan brokoli kribo, bener2 ga habis pikir dengan kelakuan makhluk2 berkuasa di tanah air tercinta, Indonesia Raya. Gimana kaga, di tengah2 bencana alam yang bertubi2 melanda, eh anggota2 Dewan kurang terhormat dan elite2 politik masih ajah sibuk ngomongin STUDI BANDING. Beberapa hari lalu, gw nyaris melemparkan ulekan ke tipi, kalo ga sadar bahwa tipi itu dibelinya pake duit dan bukan daun, saat MA [u know lah hai yang gw maksud, itu lho ketua DPR] berkata “Satu2nya cara untuk belajar adalah dengan studi banding”.

Marilah sodara2 sekalian kita buka kamus Bahasa Indonesia dengan khidmat dan teliti untuk mencari apa sebenernya pengertian dari kata2 tersebut. Studi adalah belajar, penelitian ilmiah, kajian, telaahan; sedangkan banding yaitu persamaan, tara, imbangan. Maka, jika digabungkan, pengertian kedua kata tersebut ialah : suatu kajian ilmiah dengan mencari imbangan dari kasus yang sama atau serupa di tempat lain. Seyogyanya, peserta studi banding merupakan orang2 dengan pemahaman bagus terhadap bidang yang akan distudi-bandingkan, serta kemampuan menyerap ilmu dengan baik, supaya setibanya di kampung halaman ilmu baru yang diperoleh dapat diaplikasikan secara tepat.

MAMPUKAH MEREKA?

Itulah pertanyaan yang banyak berkelebat di dalam otak jutaan masyarakat Indonesia, saat wakil2nya di Dewan berencana untuk mengadakan studi banding, ke luar negeri pula. Jangan salahkan ketika banyak opini miring bermunculan. Pemicunya bukan hanya satu, tapi banyak hal. Antara lain:

1. Anggota dewan terpilih berdasarkan suara terbanyak, bukan keahlian yang dimiliki.

Siapa punya banyak pendukung dalam Pemilu, maka dialah Sang Pemenang. Oke oke, tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjatuhkan pilihan, banyak pemilih masih sembarangan. Karena dihujani oleh kiriman kaos dan sembako,padahal bahan kaosnya tipis dan kasar sehingga bisa digunakan sebagai saringan, maka jatuhlah talak kepada si pemberi. Dikasih duit ala kadarnya yang udah tentu ga cukup untuk kasih makan keluarga dalam sebulan, langsung berserah suara. Dihadiahkan alat2 pertanian, mesin air, genset, serta kebutuhan2 lain yang diperlukan desa, berbondong2lah orang memilih tuan yang baik hati itu. Akibat dari uang berbicara itulah maka banyak caleg yang kurang ato bahkan ga ‘qualified’ sama sekali justru tepilih.

2. Maraknya kasus jual-beli ijazah.

Makin maju suatu peradaban,semakin canggih juga orang2nya. Kalo dulu di pasar yang di perjual-belikan adalah sayur, buah, ikan, daging, ayam, jaman sekarang ijazah sudah menjadi salah satu komoditi tersebut. Kasus caleg yang cuma lulusan SMA, tapi tau2 punya ijazah dari sebuah perguruan tinggi, bukanlah isapan jempol. Pun bukan rahasia umum lagi. Efeknya apa sodara2? Titel boleh tinggi, deretan MSi MSc dan MM (baca : Mall Metropolitan) membuat penulisan nama menjadi lebih panjang dan seakan2 terlihat sangat intelek, tapi isi otak kosong melempem. Pantas saja almarhum Gus Dur pernah berkata bahwa DPR ga lebih dari sekumpulan anak TK.

3. Anggap saja benar2 bersekolah, tapi kemudian salah jurusan.

Salah jurusan yang gw maksud disini bukan naik bus Kp. Rambutan - Bogor padahal tujuannya ke Lampung. Tapi, ketika seorang yang anggaplah benar2 lulusan dari sebuah perguruan tinggi, meraih gelar Sarjana Sastra Jawa, IPK alhamdulillah cukup buat makan, kemudian terpilih dalam Pemilu dan duduk di Bidang Anggaran. Nah lho? Mati kutu dah. Dengan alasan itulah studi banding menjadi satu2nya cara belajar efektif agar kekurangan pengetahuan dan skill doski akan cepat didapat dan dikuasai. Pertanyaan berikutnya: apakah iya studi banding yang jangka waktunya relatif singkat dapat segera menambal ‘kekurangan’ tersebut? Jangankan Sarjana Sastra, wong Sarjana Ekonomi ajah kalo disuruh nyusun anggaran masih megap2 [kasus temen gw yang disuruh nyusun Budget Capex perusahaan sama bosnya langsung bengek 3 hari 2 malam].
4. Kemampuan Bahasa
Gw yakin seyakin2nya kalo ga semua anggota Dewan, elite2 pemegang tapuk pemerintahan, bisa berbahasa Inggris. Boro2 mengharapkan berbahasa Inggris dengan baik dan benar, wong cas-cis-cus ala Tukul ajah masih banyak yang gelagapan. Waktu gw freelance di BPPT tahun 2005, mengadakan seminar skala internasional tentang gempa bumi dan tsunami, banyak peserta dari Indonesia, yang merupakan orang2 PEMDA (contoh : sekretaris daerah, dll), sama sekali kaga bisa bahasa Inggris. Nah loh! Kumaha ieu teh? Padahal diktat, materi seminar, diskusi, semuanya berbahasa Inggris.

SEBERAPA EFEKTIF?

Tingkat kepercayaan masyarakat bahwa studi banding itu efektif sangatlah rendah. Tak heran ada stigma ‘studi banding = pelesiran’. Coba kita tengok negara2 yang dipilih sebagai tujuan studi. Afrika Selatan, sebagai tempat mencari ilmu mengenai Pramuka. Apakah memang Pramuka di Afsel sudah sedemikian majunya? Berikutnya, Yunani. Ada yang bisa jelasin ga seh kenapa harus ke Yunani buat belajar etika? Kenapa bukan Yu Yati ato Yu Gemi? [hihihi itu mah tukang baso di Cilegon]. Bagusan juga pergi ke Jepang. So jikalau pada akhirnya dinilai gagal dalam menjalankan tugas,mereka ga sungkan2 untuk mengundurkan diri, ato harakiri sekalian (baca: bunuh diri).

Akibat pemilihan negara tujuan studi banding yang seringkali tidak selektif, karena tidak cocok dengan substansi masalah yang sedang dipelajari, serta ketidaksamaan dalam sistem politik, sosial, dan kondisi geografis dengan Indonesia, maka gw merasa bahwa studi banding ga efektif dalam mengatasi permasalahan di dalam negeri. Kalo beda 180 derajat lalu gimana mo mengaplikasikannya?

Bisa dibilang gw adalah orang yang selalu suudzon dengan Anggota Dewan Kurang Terhormat. Bisa dikata gw kejam, karena punya pikiran daripada piara DPR bagus piara tuyul, jelas2 menghasilkan duit bukan malah ngebuang2. Ups, tuyul haram yah bo? Gw ganti deh jadi piara ternak, entah itu sapi, kebo, ato domba. Dikasih pakan berkualitas, badannya semakin hari semakin montok, mendekati Idul Fitri ato Idul Adha dijual, pasti banyak yang mau beli dengan harga tinggi. Nah kalo Anggota Dewan, udah mah dikasih fasilitas2 nomer 1 [liat dunks mobilnya, coba dibeliin kerupuk udah dapet berton2 kerupuk plus tempat pikulannya plus emang2 yang jual], gaji dan insentif ini itu ditambah duit rapat gini gitu yang kalo ditotal jumlahnya cukup buat beliin susu bayi2 di pengungsian, bukannya memberi masukkan dan ide2 terbaik untuk Negara, eh malah jadi lintah. Iya, lintah. Nempel, ngisep darah, kalo udah kenyang ga juga mau lepas. Ga tau diri!

Dua orang sepupunya Abang, mejadi anggota DPRD Tk.II, satu di kota A, satu lagi di kota B, Kalimantan Barat. Yang di kota A keren sekali, suami istri dua2nya menjadi anggota dewan. Mereka berdua tamatan SMA. Waktu kami silaturahmi Lebaran ke rumahnya, Sang Istri cerita mereka baru pulang dari S’pore, bareng anggota dewan lainnya. Gw pun bertanya2 apa gerangan yang dikerjakan orang2 itu ke S’pore? Kalo mo studi banding, apa yang di-studikan? Apa yang di-bandingkan? Karena setau gw, kedua orang itu (baca: sepupu Abang, otomatis sepupu gw juga) ga bisa berbahasa inggris. Atokah bahasa sehari2 di S’pore adalah bahasa Melayu? Di ujung cerita, gw hanya melempar secuil senyum serta anggukkan kepala sebagai bentuk menanggapi, saking ga tau harus bicara apalagi, sebab dari keseluruhan cerita kegiatan jalan2 dan blanja-blanjilah fokus pembicarannya.

Di kota B, sodara Abang bernama, mmmmm … sebut saja Mawar. Ok, secara Mawar sangat lazim digunakan koran Lampu Merah untuk menyebut inisial seseorang [ada yang pernah baca koran ituh?], maka gw akan ubah namanya menjadi Pinus. Iya, gw ga tertarik lagi dengan nama bunga, makanya gw pilih nama pohon. Back to the topik, lakinya Pinus adalah anggota Dewan. Saat gw maen ke rumahnya, di tengah2 acara ngemil tempe goreng dengan cabe, dia ngomong begini:

Pinus : “Teh, kemaren Pinus dari Bandung loh” (mesem2)
Gw : (nambah tempe untuk kali ke-7, tanpa cabe, karena bibir dah jontor kepedesan) “Ngapain?”
Pinus : “Kan ada pelatihan istri anggota Dewan”
Gw : (muka lempeng) “Pelatihan apaan?”
Pinus : “Pokonya pelatihan gituh deh. Soalnya kan udah ada anggarannya. Oya Teh, hotel kami deket Pasar Baru lho. Jadi Pinus sama istri2 anggota Dewan lainnya belanja kesana. Tapi penuh banget. Desek2an. Makanya cuma sebentar”
Gw : (berpikir dengan serius kenapa pada cerita pelatihan yang menggunakan uang rakyat garis bawahnya justru adegan belanja di Pasar Baru) “…………….”
Pinus : (level mesem2nya meningkat jadi cengar-cengir) “Tar bulan depan juga ke Bandung lagi Teh. Ada pelatihan lagi”
Gw : (nyolot semangath ‘45) “PELATIHAN APAAN??”
Pinus : (cengar-cengir kuda lumping makan beling keselek lembing) ”Ya pelatihan istri anggota Dewan, Teh”

Temans, dua contoh itu bukan gw denger dari orang lain, media cetak, ato versi sinetron di tipi. Itu adalah percakapan nyata antara Jeng Soes versus anggota Dewan, yang merangkap sebagai sodara. Mereka pun ‘hanya’ DPRD Tk.II, bukan yang di pusat. Tapi ternyata gejala2 gilanya sama kan?!

Sekali lagi, tulisan ini hanyalah jeritan hati seorang emak2 seksi pengamat pasar, sekaligus pemerhati cowo2 ganteng kaya Tom Cruise, Ashton Kutcher, dan Raffi Ahmad di pilem ‘Jeruk Purut vs Jeruk Bali’. Gw minta maap karena gw yakin, diantara segerombolan maling2 berdasi yang kerjanya bikin miskin Negara, pasti ada barang sebiji dua biji tiga biji [banyak amat bijinya, San?] makhluk2 berhati malaikat, melaksanakan amanat rakyat dengan jujur, bersih, adil, dan membela kepentingan wong cilik.

Saran gw buat MA, sekarang kan teknologi udah luar biasa maju. Informasi2 apapun bisa dicari melalui internet. Banyak literatur yang bisa dipelajari. Kalo ga puas, bisa dilakukan korespondensi dengan staf ahli dari negara lain. Kalo masih ga puas, datangkan si ahli tersebut, toh mendatangkan 1 orang lebih murah pastinya daripada memberangkatkan pasukan secara berbondong2. Dan gw yakin masih banyak alternatif2 lainnya, yang tidak memboroskan uang negara.

Diatas itu semua, prioritas utama haruslah diletakkan pada kebutuhan2 yang tingkat urgensitasnya tinggi. Seperti saat ini, dimana bumi Jawa Tengah & Yogyakarta sedang dicumbui erupsi Merapi, tanah Mentawai diciumi tsunami, sungguh tidak patut rasanya jika duit bermilyar2 malah dialokasikan untuk perjalanan dinas ke luar negeri. Justru inilah waktu paling tepat untuk menunjukkan bahwa tanpa studi bandingpun para Anggota Dewan yang terhormat masih memiliki etika dan moral.

Note: Para pengungsi makan ala kadarnya. Di Yogya, mereka makan hanya dengan nasi + tempe + kerupuk. Bayi2 dan anak2 kecil ga minum susu, ga makan sayur, ga makan buah. Ketersediaan air terbatas. Ketakutan, trauma, menghantui setiap saat. So kelaut ajah deh yang judulnya DPR kalo masih kekeuh mo STUDI BANDING. Oya, ke sumur juga boleh. Ato sekalian ke Merapi biar icip2 sedikit gimana rasanya ‘wedhus gembel’. Salam metal!!
Note lagee : Udah tau kan tentang Gubernur Sumatera Barat yang jalan2 ke German pada saat Mentawai kena tsunami? Ya ampyun Om, lo tu yee kebangetan amath!! Rakyat lo menderita, banyak yang wafat, luka2, keilangan rumah, keilangan sanak sodara, kocar-kacir cari tempat aman, eh lo malah pelesiran!! Awas yah kalo yey perjalanan dinas ke Miri, gw akan samperin tempat lo nginep, dan kalo ketemu, gw cincang ampe halus!!! [emak2 esmosi mulai ngasah golok].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar